
Ekonomi Pertemanan: Respons atas Kesepian di China
Perubahan demografi di China telah memicu lonjakan ekonomi pertemanan yang menguntungkan. Profesor Wang Pan dari Universitas New South Wales menjelaskan bahwa kesepian yang meluas telah menciptakan peluang bisnis yang menggiurkan.
Di platform media sosial Xiaohongshu, pengguna menawarkan jasa obrolan teman dengan tarif mulai dari Rp17.000 hingga Rp109.000 selama 30 menit. Dalam hitungan jam, mereka menerima banyak tanggapan dari penyedia jasa.
Fenomena ini juga mendorong munculnya industri pertemanan virtual, seperti chatbot bertenaga AI dan cosplayer manusia yang dapat ditemui secara langsung dengan biaya tertentu.
Krisis Kesepian dan Minat Konsumen
Tagar companion chat atau obrolan teman di Xiaohongshu menunjukkan tingginya tingkat kesepian di China. Li Shuying, seorang mahasiswa berusia 18 tahun, menjadi salah satu penyedia jasa pertemanan di platform tersebut.
Meningkatnya jumlah warga lajang telah memicu permintaan akan obrolan atau role-play virtual dengan orang asing. China menjadi semakin sepi, sehingga orang-orang sangat mendambakan cinta, keintiman, dan kedekatan, kata Wang Pan.
Motivasi Penyedia Jasa
Li Shuying mengaku hanya ingin mendapatkan uang dan menganggap pekerjaannya sebagai yang paling mudah dan tidak merepotkan. Dengan waktu luangnya, ia menawarkan harga yang relatif murah.
Selama mengobrol, Li menerima berbagai pertanyaan, terutama dari laki-laki. Namun, ia juga sering mengobrol dengan perempuan seusianya yang ingin melampiaskan rasa frustrasinya terhadap teman-teman di kelas.
Nuansa Obrolan
Li mengungkapkan bahwa banyak obrolan yang mengandung nuansa romantis. Namun, ada juga yang hanya mencari teman untuk bersahabat. Fenomena ini mencerminkan tingginya minat konsumen yang rela mengeluarkan uang untuk mengusir rasa kesepian.